MAHAR SEBUAH CALON SUAMI
Oleh : Ahmad Yani
Atas seizin-Nya. Kehedak yang telah digariskan, takdir tidak bisa ditolak. Jalan itu terlalu terjal untuk ditempuh. Biarkan air mata mengalir menghapus kenangan itu. Sementara angin berhembus akan melumpuhkan rasa yang bersemai di hati. Laila tetap manusia biasa ia terpaksa melepas Agus bersama wanita lain. Ia hanya pasrah tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab Agus diminta untuk sesegera menikah dengan pilihan orang tuanya.
Semasa sekolah hingga lulus mereka berdua dikenal pasangan yang romantis tidak bisa dipisahka. Banyak teman-teman iri melihat mereka berdua. Mereka kerap berjalan bersama, makan bersama, dan mengerjakan tugas. Namun kesetiaan cinta mereka terhalang oleh orang tua Agus.
Agus takdapat menolak permintaan orang tuanya, selama ini sudah membesarkannya. Agus diminta menjauh. Laila dianggap tidak sepadan berdampingan dengan Agus. Alasannya keluarga Laila tidak memiliki harta untuk menebus mahar yang diminta keluarga Agus.
Agus kini sudah menjadi seorang Polisi. Setelah lima tahun tamat SMA. Sementara Laila masih tekun membantu orang tua bercocok tanam, kesawah dan keladang. Laila tidak cukup uang untuk bisa kuliah ke kota. Biaya perkulian sangatlah besar bagi keluarga mereka. Apa lagi orang tua Agus meminta mahar 100 juta untuk melamar anaknya. Tentu tidak bisa dipenuhi oleh orang tua Laila.
Apa yang terpikir dibenak Laila akhirnya menjadi kenyataan. Agus pun menikah. Laila meneteskan air mata taksengaja melihat Agus diarak bersama calon istri sepanajng jalan dusun. Wanita pilihan Agus merupakan anak kaya dari dusun tetangga, wajar saja dia sanggup menebus mahar untuk bisa mendapatkan Agus.
Pernikahan Agus menjadi luka mendalam bagi Laila. Kekasih mana yang sanggup melihat pacarnya bersanding dengan wanita lain. Kenyataan pahit itu harus ia telan meski sakit terus mendera. Ia sadar keluarganya taksepadan dengan keluarga Agus. Ia mencoba untuk tegar namun hatikecilnya berkata lain, hampir setiap saat dan waktu air mantanya terus bercucuran. Itu sudah menjadi resiko yang harus dialaminya. Mautidakmau kini Agus sudah menjadi milik orang lain.
“Sudah nak, Jagan bersedih suatu saat perasaan itu akan hilang,” ujar ibu Laila menguatkan anaknya sambil mengelus kepala anaknya.
“Ia Mak, Laila kuat kok,” tegas Laila sambil mengusap air mata.
Kesedihan itu bukan hanya terjadi kepada Laila. Hampir beberapa wanita di dusun itu mengalaminya. Berpacaran kemudian ditinggal nikah oleh pacar. Rata-rata lelaki di dusun kalau sudah memiliki jabatan harus ditebus dengan mahar yang sangat pantastis. Hanya keluarga yang sepadan bisa mendapatkan yang berpangkat di dusun tersebut.
Penebusan mahar itu dianggap oleh orang dusun adalah bayar uang capek selama ini telah mengantar anak mereka ke pada kesuksesan. Pasalnya setiap anak mereka yang ikut tes harus membayar uang sogok kepada panitia penyelenggara seleksi, baik untuk CPNS dan bahkan ke instansi lainnya. Hal itu bukan menjadi rahasia umum lagi. Maka dari itu setiap anak yang sudah memiliki jabatan akan dihargai mahal. Demi anak mendapatkan jabatan orang tua di dusun sanggup menjual apapun yang mereka miliki, seperti jual petak sawah, kebun dan bahkan harta berharag lainnya demi anak mereka.
Banyak orang tua yang mulai gundah dan tidak terima budaya seperti itu berkembang di dusun mereka. Para orang tua dan anak perempuanpun mulai resah dan mengatur siasat akan melalukan demo besar-besaran menolak hal itu.
"Pokoknya kita harus protes, berontak, bersuara. Kalau perlu kita akan terus teriak biar sampai ke pemerintah pusat. Kalau permasalahan ini tidak bisa diselesaikan oleh kepala dusun" kata para ibu-ibu yang hendak mempersiapaank diri berorasi.
Agar tidak ada lagi diskriminasi kepada wanita. Kalau budaya itu terus berkembang wanita di dusun ini bisa-bisa mati dalam keperawanan.
Setelah berkumpul, para pendemo mulai bergegas menuju kantor kepala dusun. Aksi protes orang tua dan para wanita itu terus disuarakan menuju depan kantor perangkat dusun. Pendemo meminta kepala dusun mencari jalan keluar dari akar masalah yang berkembang di dusun mereka.
Suasana demo semakin hangat, para wanita terus berontak, namun kepala dusun belum juga tampak di tengah kerumunan pendemo.
"Ayo pak, keluar," cetus salah satu pendemo lantang bersuara.
Semangat mereka berkobar-kobar seperti api menyala-nyala. Aksi mereka layaknya seperti demo aktifis kelas kakap. Ban dibakar, kepala diikat menggunakan taplak meja, kuali, periuk dipulul-pukul, toa dilantangkan dan dikertas tertulis "Perjuangkan hak wanita, kurangi angka perawan. Wanita juga mau menikah," lantang suara pendemo.
Pendemo semakin bringas. Salah satu dari mereka hendak memecahkan kaca, bahkan mau melemparkan api ke kantor, untung hal itu masih dapat diredam oleh petugas Linmas berjaga.
"Jangan buk! tunggu. Nanti pak kades akan datang. Sekarang masih dalam perjalanan." Ujar salah satu petugas Linmas kepada pendemo.
Amarah diredam sejenak demi menanti kedatangan kepada dusun. Meski panas trus menyengat tubuh mereka. Satu jengkalpun pendemo tidak mundur demi memperjuang hak mereka.
Setelah sabar menunggu akhirnya bapak kepala dusunpun tiba dan berdiri di depan mereka. Suara pendemo kembali gemuruh menyuarakan maksud kedatangan mereka.
"Perjuangan hak wanita, kurangi angka perawan. Wanita juga maumenikah," seru pendemo.
Mendengar hal itu kepala dusun mulai angkat bicara. "Tenang semuanya, mari kita selesaikan dengan cara musyawarah. Tidak perlu menggunakan emosi dan kekerasan. Kita semuanya saudara," ucap kepala dusun (Kadus)
"Pak, dusun kita ini sudah tidak waras lagi," ujar pendemo di depan kadus.
Setelah berkoar-koar. Seperti demo-demo pada umumnya. Sebagain dari mereka yang merupakan penggerak masa diminta masuk. Ada sekitar sepuluh orang untuk mencari dan memecakan masalah itu. Sebelum menjelaskan satu persatu permasalah yang terjadi.
Pendemo diminta duduk di kursi meja bundar dalam ruangan kantor itu. AC dihidupakan mereka diberi minum agar suasana menjadi adem dan tenang. Setelah suasana tenang pembicaraan kemudian dimulai.
"Begini pak. Maksud dan tujuan kami datang adalah salah satu bentuk kegelisahan warga bapak. Di dusun kita banyak wanita belum menikah," ujar Santi otak dari para pendemo.
"Trus," sahut kadus.
"Ini seharusnya menjadi hal yang patut bapak selesaikan. Permasalah ini cukup serius," sebut mereka.
"Apa permasalahnya, sebutkan," tegas kadus.
Mereka menyampaikan bahwa keperawanan di dusun semakain bertambah. Hal itu terjadi beberapa tahun belakangan ini. Sebab wanita sudah susah mendapatkan calon suami di dusun karena adanya budaya mahar.
"Bisa-bisa banyak perawan tua di dusun kita ini pak," jelas pendemo.
Para orang tua wanita di dusun ini tidak dapat lagi memenuhi mahar yang dimintaoleh orang tua pihak laki-laki. Semua orang tua lelaki di dusun meminta mahar dengan jumlah yang pantastis, di luar pemikiran wajar.
"Masak anak-anak lelaki di kampung kita disamakan dengan harga sebuah mobil," kesal pendemo.
Jika anaknya seorang TNI dan Polri di kampung bisa dihargai dengan mahar Rp. 80 juta. Kalau PNS , seperi guru, dosen, kantor dinas, harga mahar bisa sampai 90-100 juta.
Dari mana uang yang bisa mereka dapatkan untuk mahar itu. Orang tua yang keseharianhidupdengan bercocok tanam, sayur dan padi di sawah. Kalau hasil panen yang mereka dapatkan cukup untuk makan, itu sudah bersyukur. Apa lagi untuk menabung membeli calon menantu buat anak-anak kami.
"Haaahhh... ini di luar akal sehat pak," cetus pendemo.
Kepala Dusun hanya mengangguk-angguk, sembari memikirkan jalan dari permasalah itu. Musyawarah berlangsung saat itu belumjuga menemukan titik terang, hingga tiga jam berlalu begitu saja. Sepuluh orang yang berjumpa kepada dusun diminta membubarkan rekan-rekannya di luar.
Sementara itu, permasalah tersebut akan dibicari jalan keluar. Pihak perangkat dusun akan meminta bantuan kepada pak camat terlebih dulu, takut jika halitu diputuskan cepat-cepat akan meimbul masalah baru. "Sekarang sudah sore, mari kita bubar kembali kerumah masih-masing. Kasihan ibuk-ibu, suami mereka lama menunggu di rumah," kata kepala dusun.
Sebelum keluar dari ruangan. Sepuluh pedemo dibisikkan. "Jangan ribut lagi ya," seraya diberi amplop satu persatu.Pedemo tidak banyak bertanya mereka juga merasa senang mendapatkan uang dari perangkat dusun. Memang beberapa diantara mereka yang melakukan demo hanya bertujuan untuk mendapatkan uang dari aksi tersebut. Mereka adalah otak dari kegiatan itu, membuat onar dan memanas-manasi waraga dusun. Menyusut demi mendapatkan uang saja. Mereka menghasut ibu-ibu yang anaknya tidak bisa mendapatkan calon suami dari anak dusun yang sudah memiliki pangkat.
Aksi demo warga dusun berakhir sia-sia tidak ada solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Hingga kini budaya itu trus berkembang. Sementara bagi wanita dusun ingin menikah harus mencari yang sepadan. Sebagainya lagi terpaksa harus mencari suami di daerah lain.
Waktu terus berlalu, budanya itu terus berkembang, tidak hanya lelaki yang bisa meminta mahar, setiap wanita yang sudah memiliki status derajat jabatan yang tinggi, mereka juga meminta hak mahar yang sama kepada pihak laki-laki.***
Jambi, 07 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar