Tradisi Manjek Pino
Desa Pulau
Tengah, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Memiliki
tradisi Manjek Pino (Panjat Pinang). Ritual ini dilakukan apabila dalam satu
keluarga memiliki kemiripan wajah (mukau samo).
AHMAD YANI -
JAMBI
Lebaran 2018
meruapan momen pertama bagi Syaqila Humaira Zayani pulang kampung. H-1 lebaran
Syaqila sekeluarga pulang dari Jambi menuju kampung halaman. Antara Jambi
Kerinci memiliki waktu tempuh sekitar 9 jam 49 menit, melewati Bulian, Tembesi,
Sarolangun, dan Bangko.
"Sambil
menyelam minum air" begitulah ungkapan yang cocok bagi keluargaku yang
pulang ke Kerinci. Selain bertemu keluarga sekalian berwisata. Seperti
diketahui Kerinci memang memiliki panorama alam sangat indah, dimana kabupaten
tersebut di kelilingi oleh perbukitan, sawah dan danau. Selain itu Kerinci juga
memiliki segudang objek wisata yang tidak habis-habisnya. Pokonya jadi betah di
kampung. "Mak karupang balek Kincai kalau maranto"
Menurut
Wikipedia "Kabupaten Kerinci adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Jambi, Indonesia. Kerinci ditetapkan sebagai Kabupaten sejak awal berdirinya
Provinsi Jambi dengan pusat pemerintahan di Sungai Penuh. Pada tahun 2011,
pusat pemerintahan berpindah ke Siulak. Letak wilayah Kabupaten Kerinci secara
geografis adalah di antara 01 41’ sampai 02 26’ lintang selatan dan 101 08’
sampai 101 40’ bujur timur."
Mudik atau
pulang kampung, begitulah sekiranya. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan,
namun asik bisa menikmati indahnya panorama kampung halaman.
Hari pertama
lebaran di rumah nenek di Pancuran Tiga, Koto Tuo. Syaqila bangun kesiangan
sebab cuacanya sangat sejuk, hari pertama dan kedua Syaqila menghabiskannya
berkunjung ke rumah saudara (manyaloa). Memasuki hari ketiga Syaqila diminta
untuk menjalani ritual Panjat Pinang. Tradisi ini memang tidak asing lagi
didengar bagi orang Pulau Tengah.
Kerinci
banyak diwarisi adat budaya hingga kini masih tetap lestari. Takheran jika
sampai saat ini tradisi panjat pindang masih terus dilakukan oleh masyarakat
setempat. Syaqila anak pertama perempuan yang cantik diminta sesegera mungkin
untuk menjalankan hal itu. Takut jika ritual tersebut tidak dilangsungkan akan
ada malapetaka yang akan terjadi pada keluarga, "Cepak dalaik umpung pino
ngak dipanjek. (Cepat cari pohon pinang untuk dipanjat)." Ujar Datuk Uwo
kepada saya (orang tua Syaqila).
Datuk Uwo
menjelaskan syarat dan ketentuan seperti apa cara melangsungkan ritual
tersebut, "Dalaik pino ngak baru beraje babuoah, pino gadih dak usoh
tinggi ndoah bisa gea (cari pinang baru belajar berbuah, pinang gadih tidak
usah tinggi rendah bisa juga)," jelas datuk sepupuan Syaqila.
Menurutnya,
ritual ini dilakukan karena Syaqila memiliki kemiripan wajah dengan kakek
(Ahmadi). Menurut tradisi yang berkembang di kampung. Memang beberapa hari di
kampung dan setiap bertemu orang Syaqila sering disebut-sebut mirip
dengan kakeknya.
Tidak banyak
bertanya setelah mendengarkan penjelasan dari Apok Uwo, saya langsung bergegas
mencari pohon pinang yang akan dipanjat. Tak jauh dari rumah, saya
menemukannya. Mencari pohon pinang tidak sulit di kampung apa lagi letak rumah
nenek Syaqila berada di antara sawah dan kaki gunung raya. "Dekek jaleng
pancaro." Pohon yang didapati segera kusampilaikan, tingginya tiga meter
dengan besar sepaha orang dewasa, buahnya baru mulai muncul.
Apok Uwo
menjelaskan, untuk menjalankan ritual ini tidak begitu sulit, "Dengan
sapau mukaunyea mirip ituh nggak manjek, (dengan sapa mukanya mirip itu yang
manjat)," jelasnya.
Lanjut Apok
Uwo, tradisi ini tidak banyak syarat terlebih dulu mengucapkan
bismillahirrahmanirrahim, doa dan niat, agar dijauhkan dari bahaya. "Kalau
idoak dibene tradisi inih, saloh satau antaro muko nggak mirip ini adea nggak
ngaloh matai (kalau tidak dilangsungkan tradisi ini, salah satu muka yang mirip
ini akan ada yang kalah menggal)," ungkasnya.
Tradisi ini
hanya dilakukan untuk anak kecil dan anak remaja dan dewasa apa bila ada
kemiripan wajah. "Manjeknyuh harus pakai ambing/sarindoa untuk nukung(Memanjat
harus menggunakan kain gendongan) ," terang warga lainnya.
Upacara
tradisi pun dilangsungkan, kakek terpaksa menggendong Syaqila, dalam posisi
digendong kakek memulai tahap awal berdoa dan melakukan panjatan. Pinang yang
dipanjat tidak harus tinggi paling satu sampai tiga langkah sudah cukup,
"inih sebagai syarat be," tegas Pak Uwo.
Alhamdulillah
tradisi ini bisa berjalan lancar dan cuaca tidak hujan, jika hujan pastinya
acara ditunda karena batang pohon pasti licin. Tradisi ini sudah berkembang
sejak lama di kampung halaman ku (Kerinci), belum tahu kapan mulai dan pertama
dilakukan. Hingga saat ini ritual ini terus dilangsungkan.***
Komentar
Posting Komentar