Berbincang dengan Generasi Penerus Pertama Makyong
Kembalikan Kejayaan Makyong
Makyong butuh regenerasi agar tidak punah oleh zaman modrenisasi. Makyong merupakan warisan leluhur masyarakat melayu haru terus di jaga kelestarikannya.
AHMAD YANI- Sagulung
Jumat (9/10) pukul 11.00 WIB. Saya mendatangi kediaman Dorani Basri warga Taman Cipta Asri Blok L Nomor 88. Dia merupakan seorang penerus pertama Makyong di Kota Batam.
Untuk tetap menjaga kelestarian Makyong pria 47 tahun ini mendedikasikan dirinya untuk mengajar seni teater tradisional masyarakat Melayu itu pada anak-anak di Pulau Panjang kecamatan bulang Kota Batam RW O5/RT 01 dua hari sekali pulang kerumahnya di pulau.
Bukan tak beralasan pria yang akrab disapa Dorani ini berbuat demikian, mengajar makyong semata-mata untuk menjaga kelestarian teater yang konon katanya zaman dulu sering diadakan di pematang sawah sehabis panen padi ini.
Soal makyong, Dorani mewarisi aktivitas kedua orang tuanya Basri yang kini sudah lebih dulu menghadap khalik dan mak Norma, tak ayal dia bersahabat makyong terbilang belia yakni sejak berumur empat tahun. Di Batam, makyong pertama kali di oleh tiga orang, Basri, Mak Norma serta Nek Mum.
"Ibu masih hidup, ayah sudah tidak ada dan Nek Mum juga udah gak ada," ujarnya.
Mempermudah kiprahnya menjaga budaya melayu, khususnya makyong, kini dia bersama sang ibu menginisiasi pendirian sebuah sanggar yang kemudian dinamai Sanggar Basri. Iya ! nama sanggar yang didirikan di Pulau Panjang Kecamatan Bulang Kota Batam pada tahun 2001 itu disamakan dengan nama sang almarhum.
"Sanggar ini didirikan setahun setelah bapak (Basri, red) wafat. Dia wafat tahun 2000," tukas pria yang juga dipercaya sebagai petugas Dendang Melayu oleh Dinas Pariwisata Kota Batam ini.
Mendirikan panggung sebagai arena pertunjukan bukan tanpa aral, yang hanya dengan ucapan kun fayakun langsung jadi. Dorani berkisah awalnya panggung pertunjukan dibuat seadanya, bertiang batang kelapa, beratap daun kelapa serta berdinding terpal.
"Tahun 2009-lah panggung itu baru dibeton," terangnya.
Soal alur cerita makyong, Donari mengatakan seni teater ini merupakan teater melayu yang menceritakan tentang sebuah kerajaan melayu dibawah kendali seorang raja perempuan bernama Cek Wang. Layaknya kerajaan pada umumnya, tokoh lain diantaranya Awang Pengasuh sebagai pemimpin pengawal, Mak Inang sebagai pemimpin dayang-dayang serta Mak Senik sebagai pembantu Mak Inang mengurus dayang.
"Disitu Awang yang dituakan," ujarnya.
Sementara properti saat gelaran acara, secara umum menggunakan pakaian kerajaan melayu, memakai topeng dan dipentaskan di tempat umum secara terbuka.
Dalam pertunjukkannya makyong diiringi alat musik tradisional seperti biola, gendang, gong, gelenang (momong, red) krincing, kedombak dan rebab. Bisa ditambah musik tradisional lainnya. Untuk para pemain minimal 25 orang tergabung dengan para pemusik bahkan bisa lebih.
"Yang ikut pertunjukan makyong orang yang punya peran, bisa dialog dan berakting," bebernya.
Dahulu sebelum melakukan pementasan makyong dilakukan upacara pembuka tanah (Serampi jampi atau doa, red) dengan disajikan beras kunyit, kemenyan memberi tahu pada makluk gaik jangan sampai menggangu permainan dan jangan sampai kesurupan. hal itu untuk keselamatan dalam pementasan.
"Semenjak almarhum bapak meninggal kita tidak memaki serampi jampi lagi. Kita hanya melakukan doa dan keyakinan beragama saja," pungkasnya.
Di Batam makyong belum banyak diketahui warga. makyong hanya berkembang di daerah hinterlen, yang sering dimainakan dari pulau satu kepulau yang lain dengan menggunakan perahu. makyong juga sebagai mata pencaharian kebutuhan hidup sehari-hari bagi mereka.
"Masyarakat yang mengundang kita mereka patungan. Kasih beras dan uang. Untuk kebutuhan selama pentas. Pementasan makyong bukan sekali pentas, tetapi sampai dua malam lamanya bahkan bisa tujuh malam.Yang mengundang adalah ketua kampung, biasanya dalam pesta, perkawinan untuk acara hiburan," terangnya.
Saat ini makyong kurang dipentaskan, biasanya di pentaskan satu tahun sekali itu pun pada akhir tahun saat kenduri seni. Di Engku Putri. Padahal pada zaman dulu makyong dipentaskan dari pulau ke pulau hampir setiap hari pertunjukanya.
Sejauh ini di Kota Batam hanya kelompok sanggar Pantai Basri hanya yang ada, pemainya pun dari kalangan keluarga almarhun. Para pemain seperti Mak Norma jadi raja, Igor anaknya jadi awang, Elmi cucu jadi mak inang, Putri jadi mak seni, cucu ke dua, pemusik.
"Kami ada 6 bersauda, masing-masing sudah punya anak, gadis bujang, itulah yang kita libatkan menjadi pemain,"bebernya
Hingga kini makyong di Kota Batam belum ada generasi yang setara dengan Mak Nurma, karena makyong bukan sekedar berdiolag saja, tetapi harus pandai bernyanyi dan menari.
Agara masyarakat makyong tetap ada Dorani berharap makyong ada baiknya dijadikan sebagi muatan lokal dalam kurikulum pembelajaran di sejumlah sekolah, "Tanpa jembatan dari regenerasi, Makyong bisa punah," punkasanya. ***
Komentar
Posting Komentar